Melintasi Musim

spring

“Musim panas sudah mulai” gumamku

“Kok tahu?” tanya Al

“Tonggeret sudah bunyi! Itu tandanya musim hujan sudah hampir selesai dan musim panas sudah dimulai. Sini bawa rockwoolnya kemari!” perintahku

“Yaelah satu ini… galak banget! Kalau saja aku tidak bermaksud berguru tanam menanam hidroponik, dah males aku…” omel Al

Aku melirik ke arahnya, dia lucu kalau sedang ngomel. Al sahabat baikku ini, berbadan tinggi tegap, mata jenaka, tapi mulutnya kayak nenek-nenek, itu yang sering kukatakan padanya.

Aku memotong rockwool kecil kecil, memasukkannya ke dalam ember air di dekatku.

“Kayak tahu sumedang yak?” tanya Al lagi

“Hmmm… udah itu langsung diperas, lalu ditusuk tusuk pakai tusuk gigi” jawabku

Sambil melakukan perintahku, Al terus saja berbicara panjang, “Ha ha ha… beneran lho ini kayak tahu sumedang… apalagi kalau ditaruh nampan… terus dikasih cabe… diphoto .. dimasukin instagram… hi hi hi… orang pasti ketipu…”

“Udah? Sekarang ambil tuh biji-bijiannya! Kalo sawi-sawian cukup 2 saja per rockwoolnya, sedangkan bayam, kangkung bisa empat…” perintahku lagi sambil memberikan contoh padanya cara memasukkan biji ke rockwool

Al mengangguk angguk, “O… jadi semua tanaman ini juga dari biji kayak gini ya…”

“Nggak, langsung muncul… nyembur gitu aja dari tanah…” jawabku sekenanya

“Ha ha ha ha ha… kamu lucu kalo sewot gitu” katanya sambil tertawa lebar

Menyanggupi rayuannya untuk mengajari hidroponik berarti siap mendengar celotehannya selama beberapa jam, tapi aku tidak punya pilihan lain. Bercocook tanam dengan cara hidroponik sedang digemari saat ini karena menghasilkan sayuran kualitas premium, begitu yang digembar-gemborkan. Sayuran hidroponik tidak menggunakan media tanah, bebas pestisida, dan bisa dirawat sendiri sehingga terjamin bersih dan sehat, dan kepuasannya… uh sungguh menyenangkan! Aku sebenarnya bukan petani hidroponik, bahkan awalnya hanya ngikut saja. Setelah beberapa kali praktek dan uji coba sendiri, teras rumahku akhirnya ditumbuhi sawi, kangkung, bayam, selada, kailan, cabe, tomat. Dan mulailah satu persatu teman minta diajari untuk skala rumahan yang bisa dikerjakan sambil iseng.

“Eh… selanjutnya apalagi ini…?” pertanyaan Al mengagetkanku

“Udah tahu cara menanam kan? Nah kita tutup nampan semai biji ini dengan plastik hitam, 2 hari lagi akan pecah, bertunas, dan harus dikenalkan matahari, setelah itu tunggu sekitar 10 – 15 hari lagi biji ini akan berdaun 4”

“Heh?”

“Biji butuh kelembaban dan kegelapan untuk tumbuh… mungkin sama seperti halnya di hidup ini, suasana yang lembab dan gelap tanpa sengaja akan menumbuhkan sesuatu yang akan hidup lama di dalam diri kita. Tumbuhan baru yang bernama kekuatan, dan keteguhan hati”

“Hadoooh… berat bahasanya” sahut Al

Berbeda denganku, Al bukan penggila buku, novel, dan sejenisnya, dia hanya pria biasa yang hanya membaca sekedarnya itupun koran olahraga.

“Sekarang ambil botol bekas air minum itu.. potong sepertiga ujungnya… gini… lalu balik.. mulut botolnya jadi menghadap ke bawah… taruh semaianku yang sudah berdaun 4 itu ke ujung yang sudah disambungkan dengan kain flanel ke cairan di dasar botol” jelasku panjang lebar

“Begini?” tanya Al sambil menunjukkan hasil pekerjaanya

Aku tersenyum, “Ya, sekarang tinggal rawat baik-baik… periksa nutrisi, sinar matahari, hama, dan taraaaa… kita bisa bercocok tanam melintasi musim sekarang…”

“Melintasi musim?” matanya mengerjap bingung

“Hadoooh! Lemoot… kalau petani tradisional itu kan tergantung musim menanamnya, kalau musim hujan mereka tanam apa… lalu musim panas tanam apa… lah sekarang kita bisa tanam apapun di musim apapun… keren kan?”

“Ooo… pernahkah musim tidak berganti?” katanya sambil tekun memotong botol botol bekas air minum. Skala rumahan seperti yang kulakukan ini memang sengaja mengusung isu ‘ramah lingkungan’ dengan memakai barang bekas sebagai wadahnya, ember, botol, dan juga gelas-gelas plastik.

“Pernah.. di tahun 1816 ada suatu musim yang tidak pernah berganti, ‘the year without summer’. Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya” jawabku

“Heeee???! Kamu ngomong apaan?” mata Al melotot.

“Aku ngomongin suatu saat di tahun 1816 saat gunung Tambora meletus ha ha ha… barusan ku baca di buku, katanya letusan gunung itu mengubah sejarah peradaban manusia. Di belahan dunia lain, Tambora merenggut ribuan nyawa. Bukan karena letusannya, melainkan akibat epidemi tifus dan kelaparan merata di wilayah Eropa. Rusuh tak terelakkan, rumah-rumah dan toko dibakar dan dijarah. Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo. Hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis”

“Dasar ensiklopedia berjalan” gumam Al

“Oya… sampai – sampai memunculkan novel Frankestein dan juga awal sepeda lho… gila ya! Musibah ternyata bisa memunculkan hal sebesar itu? Itu kan masih 200 tahun lalu… sudah modern lah ya…”

“Modern apaan? Sekarang itu baru modern… smartphone… internet… jet.. F1…  itu baru modern” mulutnya mengerucut membuatku gemas

“Yah… paling nggak… nggak se – jadul jaman nabi Musa ‘lah… ha ha ha ha ha ha..”

“Ketawa! Huh! Sudah berhenti dulu ya.. capek nih!” keluh Al

“Hmmm…”

“Jadi aku belajar banyak hal hari ini, mengenali musim, bercocok tanam yang melintasi musim, suatu waktu dimana musim tidak berganti, apalagi ya… bagaimana dengan cinta? Aku tak pernah mendengarmu mengatakan tentang cinta…” katanya sambil meneguk satu gelas besar jus jambu yang kusediakan untuknya

“Ngomong apaan?”

“Ha ha ha ha ha ha… sang ensiklopedia berjalan ini.. sudah mulai keki kalau diajak bicara soal cinta…”

“Aku tak yakin akan ada cinta yang begitu kuat melintasi musim…” gumamku pelan

“Ada! Sebentar lagi…! Saat semaian kangkung ini mengeluarkan daun berjumlah empat, saat itulah cinta yang melintasi musim akan datang” jawabnya sambil mengedipkan mata

Aku menarik bibirku ke atas dan memberikannya senyuman terbaik.

***

*sebuah catatan bercocok tanam hidroponik

Catatan:

Tonggeret adalah sebutan untuk segala jenis serangga anggota subordo Cicadomorpha, ordo Hemiptera. Serangga ini dikenal dari banyak anggotanya yang mengeluarkan suara nyaring dari pepohonan dan berlangsung lama. Selain tonggeret, nama lain juga dikenal, biasanya dikaitkan dengan pola suara yang dihasilkan. Orang Sunda menyebutnya Tongeret, orang Jawa menyebutnyagarengpung atau uir-uir, tergantung suara yang dikeluarkan.Di Indonesia, suara tonggeret garengpung yang nyaring akan muncul di akhir musim penghujan, saat serangga ini mencapai tahap dewasa, keluar dari bawah permukaan tanah untuk melakukan ritualmusim kawin (sumber Wikipedia)

Kisah Tambora dan Frankestein sedang ada banyak di majalah nggak usah dijelaskan ah :p

14 pemikiran pada “Melintasi Musim

  1. hai, salam kenal ya, saya suka cerpen2 kamu kl ibarat makanan kaya cemilan sedikit tapi nagih terus rasanya, jangan berenti untuk nulis ya

    • @bukan adidas (lalu siapa dong 😀 )

      terima kasih sekali sudah mampir.. ya, ini sedang berusaha untuk tidak berhenti 😀

  2. Ih, menurutku ini adalah cerpen tentang dua hal, pertama tanaman dan yang kedua adalah CINTA….
    Penggabungan yg indah…
    hikz 🙂

Tinggalkan Balasan ke bukan adidas Batalkan balasan